Pesta di Kota Tua
Di kota ini, ada remah-remah ingatan
bergantung di sepanjang lampu jalanan,
raga yang terbakar angin malam sepulang mencari makan,
amplop dengan sebuah nama di depan, anak-anak cengengesan,
seabrek pikiran yang membuat tertekan.
Kadang kau berpikir bila kota ini sebatas simulakrum
kecil dimana kau ada. Sebuah komedi putar dimana semua
bergerak cepat--melebur, menyatu, menjadi sebuah adegan yang
tak bisa kau cerna.
Mungkin benar. Pagi, siang, malam di kota
adalah tempat dimana kita berpesta-pora. Sedang aku seorang
yang berdiam, berpura-pura. Menikmati yang ada dengan gembira,
walau yang dilakukan hanya hidup tanpa benar-benar ada,
berkutat dengan tugas-tugas di atas meja, menarik secarik kertas setiap minggu
di mini-market di ujung senja, mabuk kopi sampai wajah memerah.
Untuk lupa. Menjalani hari
untuk apa.
Koper yang kosong di sudut kamar, buku-buku berdebu hadiah ayah
dan seorang mantan, dan teman-teman yang pernah singgah,
tiket pesawat dalam keranjang. Mungkin hidup dimulai ketika
menghirup angin di belahan pulau lainnya, makna ditemukan
pada lampu-lampu di atas angkringan, hati menemukan ketenangan
di tengah permainan gamelan. Atau mungkin walau aku bisa kabur
dari sang kota, aku tak bisa kabur dari sang jiwa.
Yang salah bukan engkau, yang penuh panas, bulir air, dan hujan.
Yang salah adalah ia,
yang berpuisi kala pesta.
Comments
Post a Comment